Friday, March 12, 2010

Keamanan Nasional dalam Aspek Moral

Dalam kehidupan nasional (bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) maka strata keamanan yang paling tinggi adalah keamanan nasional. Istilah keamanan nasional (national security) berasal dari pengertian melindungi bangsa dan negara terhadap serangan dari luar dalam nuansa kemiliteran. Artinya serangkaian upaya suatu negara dalam meningkatkan atau memelihara kekuatan militernya dalam rangka menghilangkan atau mengurangi rasa tidak aman terhadap ancaman militer negara lain. Pengertian seperti itu dianggap terlalu sempit karena perkembangan lingkungan kehidupan global seperti yang kita hadapi saat ini. Kondisi dunia tanpa tapal batas, laju teknologi yang demikian cepat dan mobilitas personil yang semakin tinggi, berpengaruh terhadap nilai-nilai di semua aspek dan dimensi kehidupan.
Untuk memahami konsep keamanan seperti ini kita sebaiknya berpaling kepada konsep ketahanan nasional Indonesia.

Bagi Indonesia rasa aman dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (=keamanan nasional) ditentukan oleh apa yang kita kenal dengan intensitas dan kapasitas ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan (AGHT) yang ada dan pengaruhnya terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, bangsa dan negara. AGHT tersebut diatas umumnya ditujukan kepad tiga sasaran kehidupan yaitu sumber daya kehidupan, aspek kehidupan dan dimensi kehidupan. Yang dimaksud dari sumber daya kehidupan adalah kondisi (konstelasi dan konfigurasi geografi), kekayaan sumber daya alam, dan kependudukan. Sedangkan yang dimasud dengan aspek kehidupan secara garis besar, meliputi kehidupan sosial budaya, kehidupan politik, dan kehidupan perekonomian; dan yang dimaksud dengan dimensi kehidupan ditujukan kehidupan politik nasional secara umum sesuai negara yang menganut politik demokrasi, yaitu adanya supra struktur politik (pemerintah), infra struktur poltik (partai politik), dan substruktur politik (rakyat dan masyarakat). Dengan pengertian ini maka ketahanan nasional Indonesia tergantung dari sejauh mana masyarakat, bangsa dan negara Indoensia mampu menghadapi, mengatasi atau meniadakan AGHT yang ada terhadap unsur-unsur kehidupan yang telah dijelaskan.

Cara yang mudah untuk menilai tingkat dan derajat ketahanan nasional suatu bangsa (termasuk Indonesia) adalah dengan cara menilai sejauh mana atau sampai dimana rakyat dan masyarakatnya mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ini berarti kembali ke konsep kebutuhan dari Maslow, yaitu kebutuhan dasar manusia adalah pemenuhan sandang, pangan dan papan serta rasa aman, tenteram dan sejahtera. Berarti pula apabila rakyat dan masyarakat suatu negara masih kesulitan dalam hal pemenuhan kebtuhan pokok dapat didiskusikan bahwa bangsa dan negara ini rentan terhadap masalah keamanan. Dapat didiskusikan pula bahawa kondisi semacam ini pada umumnya berada di negara berkembang.

Keamanan nasional di negara kita mengandung 4 fungsi yaitu keselamatan bangsa, pertahanan negara, penegakkan hukum dan ketertiban umum dan perlindungan masyarakat.Dari keempat fungsi ini maka keselamatan bangsa merupakan urutan pertama. Bagi Indonesia hal ini sangat penting karena selain negara kita merupakan negara bangsa (nation state), dimana suatu negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan budaya namun karena aspirasi nasionalnya (Mukaddimah UUD 1945!) dan sumpah pemuda tahun 1928, juga karena negara kita menempati posisi silang yang sangat strategis bagi kehidupan internasional sehingga akan menjadi incaran negara-negara maju secara politik, ekonomi maupun sosial budaya. Selanjutnya dalam gambar 2, digambarkan fungsi-fungsi keamanan nasional pengertian, jenis ancaman, sarana menanggulangi ancaman serta sarananya.

Pada masa Orde Baru, selalu menekankan adanya kewaspadaan nasional (national security awareness) yaitu sikap tanggap secara mental maupun fisik, untuk mendeteksi perkembangan kehidupan nasional dan memberikan respon sedini mungkin atas kecenderungan yang terjadi terhadap usaha atau tindakan yang menjurus kepada perpecahan persatuan dan kesatuan bangsa. Ketidak-amanan nasional (national insecurity) akan timbul jika Indonesia berada dalam kondisi ketahanan nasional kita sangat rendah, atau dengan kata lain jika kemampuan menghadapi berbagai macam dan bentuk AGHT sangat rendah: kemampuan penegak kedaulatan rendah, kemampuan penegak hukum rendah dan kemampuan rakyatnya juga rendah. Semua ini bisa disebabkan karena sense of national security awareness di kalangan kehidupan nasional sangat rendah misalnya, sikap pemerintah terhadap keamanan nasional sangat rendah, sikap partai politik yang tidak aspiratif terhadap kondisi negara, bangsa dan masyarakatnya dan kehidupan rakyat dan masyaraktnya yang kehilangan patriotiseme (lost of aspiration and patriotism). Inilah tantangan keamanan nasonal.

Keamanan dalam dimensi yang lebih rendah, fungsi keamanan domestik, yaitu pengeakkan hukum dan ketertiban umum. Kita mengenal adanya istilah Kamtibmas atau keamanan dan ketertiban masyarakat, yang mana unsur utama unsur penegak hukumnya adalah aparat kepolisian. Keterbatasan sumber daya yang ada pada pemerintah maka dalam upaya penangkalan terhadap berbagai ancaman, gangguan atau hamabatan terhadap kehidupan nasional, disusun dalam suatu norma-norma (moral dan hukum) yang melibatkan semua unsur masyarakat. Misalnya dalam penegakkan hukum, dengan keterbatasan aparat hukum dibandingkan dengan besarnya skala ancaman ancaman terhadap ketidak-amanan dan kebutuhan untuk keamanan itu sendiri, banyak dibentuk berbagai upaya pengamanan yang dilakukan oleh unsur non-kepolisian seperti dengan adanya pengamanan swakarsa di lingkungan pemukiman, atau, adanya unsur pengamanan professional yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan baik itu secara propitari maupun melalui jasa usaha pengamanan.

Selain fungsi keamanan nasional yang secara langsung berkaitan dengan Sebenarnya ada satu hal lagi yang berkaitan dengan keamanan yaitu rasa aman dari bencana dan mala-petaka. Bencana berkaitan dengan bencana alam. Misalnya yang sering terjadi di negara kita gempa bumi, banjir, dan tanah longsor; sedangkan mala petaka berkaitan dengan sesuatu kejadian akibat kelalaian kita sendiri disengaja atau tidak disengaja, misalnya kebakaran, ancaman bom, ledakan gudang bahan kimia, dll.

Dengan pemahaman sperti ini maka perdebatan yang pernah terjadi disekitar RUU, antara konsep TNI dan Polri, semuanya hanya berkaitan dengan poltik dan kekuasaan serta status saja. Karena Keamanan Nasional merupakan tanggung jawab semua unsur dan komponen yang ada di negara tersebut.

Monday, March 8, 2010

Pengertian Dasar Sistem Pertahanan Negara



1. Umum

Setiap negara memerlukan tentara untuk memelihara dan mempertahankan kedaulatannya. Bagi negara-negara ‘kecil’ (small power) hal ini tidak mudah, karena membangun tentara memerlukan biaya yang besar, dan pada umumnya negara-negara ini masih menghadapi masalah politik dan ekonomi. Dalam kondisi ini bagi negara kesil tentara menjadi barometer kehidupan nasionalnya, apakah itu sebagai sebagai dinamisator atau pun stabilisator dalam kehidupan politik nasionalnya. Dalam mengendalikan pemerintahan, tentara mempunyai kelemahan, antara lain mengutamakan perhatian terhadap lawan-lawan politiknya daripada memperhatikan aspek kehidupan yang lain terutama ekonomi.

Pada sisi lain sejak setelah PD II, negara-negara di dunia belajar hidup dibawah pengaruh ancaman senjata nuklir yang ditandai persaingan dua negara adi kuasa yaitu AS dan US, atau disebut juga sebagai blok barat dan blok timur. Tidak semua negara menjadi pengikut kedua blok tersebut, beberapa negara kecil (secara geografis) memandang lebih baik menjadi negara bebas. Negara-negara ini menyadari benar bahwa apabila saja terjadi ketegangan yang memuncak hingga terjadi konflik diantara kedua blok tersebut, bukan hal yang tidak mungkin negara-negara ini dijadikan batu loncatan atau merupakan medan kritis yang harus dikuasai oleh salah satu blok untuk mencapai tujuan politik dan militernya.

Kedua situasi diatas menjadi salah satu alasan bagi negara-negara itu untuk membangun kekuatan pertahanannya dengan menerapkan pertahanan negaranya yang berbasis rakyat. Dalam konsepsi pertahanan ini tidak berarti negara itu tidak mempunyai tentara regular. Tentara reguler sangat diperlukan selain melaksanakan fungsi pertahanan sehari-hari selama masa damai, juga merupakan pelatih komponen rakyat dan sekaligus pada saatnya sebagai penyanggah awal terhadap ancaman nyata terhadap wilayah negaranya.

Oleh karena itu dalam pola pertahanan yang melibatkan rakyat, interelasi dan interaksi kekuatan regular dengan kekuatan rakyat sangat penting; selain demi keterpaduan dalam penggunaan kekuatan, juga merupakan salah satu kredibiltas penangkalan dari bentuk pertahanan ini.

2. Penggunaan Istilah

Selain pertahahan rakyat sering digunakan istilah lain, misalnya pertahanan wilayah atau pertahanan teritorial, pertahanan rakyat semesta atau pertahanan rakyat total, rakyat bersenjata, bangsa bersenjata. Sedangkan bentuk akhir pertahanan ini adalah suatu perang yang disebut perang rakyat, perang rakyat total, perang rakyat semesta atau perang wilayah. Kadang-kadang disalah-artikan yaitu sebagai perang gerilya.

Istilah-istilah tersebut sering menimbulkan kerancuan namun sebenarnya tergantung dari motif penggunaannya. Kadang-kadang diartikan : (1) sebagai wujud politik pertahanan negara; (2) sebagai bentuk pengorganisasian militer ]; atau (3) sebagai suatu metoda peperangan. Sebagai politik pertahanan berarti negara yang bersangkutan menentukan konsepsi pelibatan rakyat dan penggunaan sumber daya nasional dalam menjamin kedaulatan negaranya. Sebagai bentuk pengorganisasian militer, maka pertahanan rakyat menganut bentuk dan sifat susunan kekuatan yang mengandung kekuatan rakyat. Sedangkan sebagai bentuk perang berarti suatu bentuk pertahanan yang pada saatnya akan terjadi perlawanan atau perang yang melibatkan rakyat (militan).

Istilah pertahanan wilayah digunakan bila menyatakan suatu perlawanan rakyat dengan tujuan mempertahankan integritas wilayah. Sedangkan istilah pertahanan rakyat digunakan untuk menekankan pada keterlibatan unsur rakyat, rakyat sebagai obyek pembinaan kekuatan perlawanan.

3. Pengertian

Pertahanan rakyat merupakan suatu pola pertahanan mendalam yang diorganisasikan dengan melibatkan rakyat untuk mempertahankan wilayah atau teritorialnya dari invasi atau pendudukan militer negara lain. Pertahanan ini disiapkan untuk menghadapi ‘perang’ yang dilakukan untuk mempertahankan wilayah negara itu. Kekhasannya terletak pada sistem senjata, strategi dan metoda pengorganisasian yang disesuaikan untuk kepentingan pertahanan daripada suatu pelibatan tindakan militer ke luar wilayah negara untuk maksud-maksud agresi militer.

Wujud perlawanan dari pertahanan rakyat akan nampak apabila negara yang menganut sistem ini diduduki negara agresor. Dengan sistem pertahanan rakyat maka perlawanan yang dilakukan adalah dengan tujuan untuk menguasai sebagian atau seluruh wilayah geografis negara sendiri yang sedang diduduki agresor. Perlawanan dilakukan dengan melakukan gangguan atau serangan yang terus menerus dari berbagai jurusan dan dengan segala cara. Oleh karena itu perang semacam ini biasanya akan berlangsung lama.

Komponen-komponen kekuatan pertahanan rakyat terdiri tentara regular dan tentara rakyat termasuk seluruh potensi dan sumber daya pertahanan yang ada di wilayahnya. Komponen-komponen ini disusun dan ditata (termasuk penataan wilayahnya) demikian rupa sehingga terjalin suatu keterpaduan pertahanan yang mampu melakukan perang wilayah atau perang rakyat. Penataan komponen-komponen ini harus merupakan prioritas pembangunan kekuatannya agar sistem pertahanan ini benar-benar bermakna dan dapat dimanfaatkan pada saat diperlukan.


4. Politik Pertahanan Rakyat


Dari perbandingan diatas diperoleh beberapa ciri pertahanan rakyat yang dijadikan bahan pertimbangan bagi negara yang menganut sistem ini. Negara yang menganut sistem pertahanan ini menjadikan wilayahnya tidak cocok untuk diserang (sehingga mengurungkan niat agresi negara lain) dan tidak tergantung dari persenjataan strategis seperti senjata nuklir karena bukan jenis senjata untuk digunakan di wilayah sendiri (sehingga negara ini tidak melibatkan dirinya dalam perlombaan senjata). Sebagai pertahanan yang defensif, sistem pertahanan ini tidak berdasarkan keinginan untuk menyerang negara lain dan menghindarkan melakukan pertempuran dalam suatu garis front (decision battles) seperti halnya perang konvensional, namun membuat negara itu (wilayah dan rakyatnya) sulit untuk dikalahkan. Bahkan terjalinnya kebersamaan antara tentara dan rakyat memperkecil kemungkinan kudeta militer. Negara yang menganut sistem pertahanan ini akan berupaya tidak tergantung dari negara lain dan percaya pada kekuatan sendiri (mendorong kemandirian) sehingga cenderung tidak ingin untuk melibatkan diri dalam persekutuan militer, suatu persekutuan yang sering menimbulkan dominasi salah satu kekuatan.

Ciri-ciri diatas sifatnya relatif terhadap ruang dan waktu, namun sejauh ini sistem pertahanan rakyat cenderung dianut oleh negara kecil dan netral atau oleh negara-negara yang secara ekonomi belum maju terutama negara-negara non-blok termasuk Indonesia. (Apakah apabila Indonesia sudah maju akan meninggalkan sistem ini ?)

5. Pengorganisasian Pertahanan Rakyat

Pertahanan yang melibatkan rakyat sering disamakan dengan perang gerilya. Di Indonesia persepsi seperti pernah menjadi polemik, yang mengaitkan Sishankamrata dengan hukum humaniter. Sistem pertahanan wilayah atau pertahanan rakyat bukan merupakan istilah lain dari ‘perang gerilya’, dan bukan pula suatu bentuk perlawanan yang mengandalkan senjata semacam bambu runcing (seperti perang kemerdekaan RI), atau senjata lantak (seperti di Timtim). Meskipun secara substansial terkandung unsur-unsur yang memungkinkan untuk melakukan perang gerilya, namun di dalam konsepsisi pertahanan ini dapat saja negara yang bersangkutan membangun sistem senjata seperti tank dan pesawat tempur. Sebaliknya adanya kekuatan persenjataan berat seperti ini tidak umum digunakan oleh pasukan gerilya.

Berlainan dengan perang gerilya, yaitu suatu perlawanan yang menganut taktik ‘hit and run’, menunggu kelemahan dan kelengahan musuh, menghindarkan pertempuran frontal yang menentukan, maka di dalam konsepsi pertahanan wilayah tidak lepas dari kemungkinan ‘pertahanan frontal’ (dalam bentuk perlawanan atau pertempuran frontal). Di dalam pertahanan rakyat disusun, disiapkan serta mengandung kemampuan untuk menghadapi lawan secara langsung di wilayah perbatasan negara, atau dalam suatu wujud garis pertempuran yang jelas (front militer), baik dalam suatu pertempuran yang statis ataupun mobil, dalam pertempuran skala kecil maupun besar. Selain alasan keterbatasan kemampuan dan kekuatannya, sifat defensif dari bentuk pertahanan ini timbul dari pengalaman sejarah bangsa di negara ini yang menyadari hakikat suatu invasi atau menduduki negara lain serta dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sipil di negara yang diserang.

Perang gerilya cenderung dilakukan oleh kesatuan-kesatuan yang kecil dan bermanuver dengan cara yang relatif tersembunyi atau terlindung, sehingga dalam perang gerilya penguasaan aspek medan menjadi sangat penting ]. Tujuan perang gerilya adalah melakukan gangguan terhadap lawan dan melemahkan mereka secara perlahan-lahan daripada dengan suatu pemusatan kekuatan dan melakukan pertempuran frontal yang menentukan (decisive battle). Meskipun perang gerilya dapat diartikan sebagai ‘perang kecil’, dewasa ini dapat diartikan sebagai bentuk pertempuran yang dilakukan oleh pasukan skala kecil namun mencakup wilayah geografis yang luas dan (sebagai biasanya) perang ini dapat berlangsung dalam waktu yang lama.

Perang gerilya kadang-kadang dilakukan bersamaan dengan terjadinya perang konvensional, atau dapat juga sebagai kelanjutan dari perang konvensional. Perang gerilya cenderung merupakan salah satu strategi militer atau suatu cara berperang daripada suatu bagian dari katagori konflik atau pengorganisasian pertahanan. Istilah perang gerilya lebih dekat dengan pengertian perang yang dilakukan oleh partisan, perang tak beraturan, insurgensi atau perang revolusioner, meskipun kemungkinan di dalam kenyataannya keempat istilah ini masih dalam konteks konflik politik atau militer.

6. Konsepsi Pertahanan Rakyat yang lain

Terdapat konsepsi lain dari pertahanan wilayah yaitu bangsa bersenjata. Konsepsi ini yang secara umum merupakan pelibatan rakyat dalam pertahanan negara yang dikaitkan dengan situasi dimana seluruh penduduknya (minimal penduduk laki-laki) adalah anggota perlawanan atau kekuatan bersenjata yang diorganisasikan oleh pemerintah negara itu. Keanggotaan ini pada hakikatnya di dasarkan atas kesadaran akan kewajiban dan loyalitas terhadap negara dan bangsanya. Motif kesadaran dan loyalitas menjadikan konsepsi bangsa bersenjata bukan sekedar memobilisasikan seluruh sumber daya nasionalnya, namun rakyat (warga negara dan masyarakat) negara itu membayangkan dirinya sebagai bagian dari organisasi militer. Kadang-kadang juga diartikan sebagai suatu spontanitas, misalnya dalam hal mempersenjatai diri untuk menghadapi agresi lawan.

Gagasan bangsa bersenjata pada umumnya terjadi dalam situasi dimana seluruh penduduk diasumsikan memobilisasikan diri untuk menghadapi bahaya, dan seluruh penduduk menjadi tentara yang diatur dan atau disesuaikan dengan profesi masing-masing, namun bukan sebagai tentara reguler. Sehingga konsepsisi bangsa bersenjata lebih cenderung merupakan suatu sistem tentara daripada sistem pertahanan. Hampir seperti konsepsi ‘citizen army’ namun sifatnya lebih terbatas dan tidak terlalu teknis di dalam pengorganisasiannya.

Konsepsisi bangsa bersenjata sering diidentikkan dengan konsepsisi yang lebih ekstrim yaitu rakyat bersenjata (‘armed people’, ‘gewapende volk’ ). Di dalam konsepsisi rakyat bersenjata, seluruh rakyat tidak sekedar mempunyai hak untuk mengangkat senjata, namun terkandung unsur kewenangan penggunaan senjata, yaitu berada pada rakyat itu sendiri, bukan oleh pemerintah. Konsepsisi ini sangat radikal dan revolusioner, sehingga dapat memperlemah kewenangan pemerintah. Bagaimanapun (kemungkinan menjadi radikal atau terkendali) konsepsisi bangsa bersenjata maupun rakyat bersenjata merupakan suatu corak demokratisasi pertahanan negara dalam mencegah dominasi oleh sekelompok kecil dari kalangan militer (regular); dan konsepsisi ini juga merupakan pertahanan defensif.

7. Sistem Tentara dalam Pertahanan Rakyat

Terdapat beberapa istilah dalam sistem tentara rakyat seperti ‘citizen army’ , milisi atau tentara milisi, atau para militer. Citizen army adalah tentara yang non-profesional dimana sebagian besar anggotanya terdiri dari penduduk sipil yang bekerja di bidang masing-masing. Pelatihan awal dilakukan dalam jangka pendek dan setelah itu secara periodik melakukan latihan yang bersifat penyegaran dan dapat juga dijadikan cadangan. Istilah milisi atau tentara milisi pada dasarnya sama dengan citizen army, namun pada umumnya menempati formasi yang lebih terbatas dalam hal ukuran kesatuan dan tujuannya.

Bila dilihat dari sisi hak dan kewajiban maka sistem tentara rakyat merupakan sistem rekrutmen yang mengandung efek pemerataan di kalangan setiap warga negara dan demokratis. Jurang pemisah antara tentara regular dan rakyat menjadi kecil sekali, karena seluruh masyarakat merupakan tentara. Sehingga dikatakan sistem tentara rakyat dapat mencegah dominasi tentara terhadap masyarakat, bahkan memperkecil kemungkinan adanya kudeta militer. Dengan adanya sistem tentara rakyat sebenarnya dapat mengurangi pembiayaan untuk tentara regular, karena pada masa damai jumlah tentara regular dapat diatur dalam jumlah yang relatif kecil.
Sebaliknya sistem ini mengandung kelemahan yaitu apabila terjadi pendadakan.

Mobilisasi memerlukan waktu, sedangkan setiap warga negara mempunyai pekerjaan atau sedang menjalani kehidupan masing-masing. Termasuk adanya berbagai peralatan atau persenjataan baru yang membawa persoalan tersendiri dalam mobilisasi. Jadi kelemahan dalam sistem tentara rakyat yang paling mendasar adalah bersifat potensial. Tentara atau kekuatan perlawanan akan nyata ada ketika ancaman sudah nampak.

Di dalam negara yang menganut sistem pertahanan rakyat pada umumnya menerapkan kedua sistem tentara tersebut, sistem tentara rakyat dan sistem tentara regular dan yang menjadi bahan telaahan terhadap negara ini adalah alasan apa memilih sistem ini dan sejauh mana menerapkan sistem tentara rakyat.

8. Perang Rakyat

Pada awal sejarahnya tujuan pertahanan rakyat adalah upaya pertahanan yang ditujukan kepada ancaman militer dari negara lain dan bukan suatu pertahanan yang ditujukan kepada ancaman dalam bentuk politik, ekonomi, teknologi, atau sosial budaya budaya dan berbagai tekanan yang dapat dilakukan seperti yang terjadi dalam abad modern ini. Meskipun ada negara yang menganut pertahanan rakyat dan mencantumkan pertahanan ekonomi dan politik, misalnya Tunisia, namun yang dimaksudkan adalah demi kepentingan pertahanan itu sendiri bukan ancaman dalam rangka persaingan ekonomi atau tekanan politik dari luar.

Setiap sistem pertahanan pada dasarnya disusun sebagai suatu proses persiapan untuk menghadapi ancaman yang terbesar yaitu perang. Bentuk akhir pertahanan rakyat adalah perang rakyat yang dilandasi semangat perlawanan rakyat dan suatu perang yang dilakukan di wilayah sendiri. Perang rakyat kemungkinan merupakan istilah yang hanya digunakan oleh pihak yang menganut sistem pertahanan wilayah, sedangkan bagi pihak agresor dapat saja disebut perang yang lain misalnya semacam operasi militer saja atau semacam tindakan polisional saja.

Istilah perang rakyat bukan berarti hanya sekedar rakyat saja yang menjadi ‘sarana’ perang, namun secara otomatis akan melibatkan semua sumber daya yang memungkinkan untuk dapat digunakan. Masyarakat atau rakyat secara massal mengambil bagian sebagai subyek perang dengan kekuatan perlawanannya, di dorong oleh suatu tujuan yang berkaitan dengan kepentingan nasional, sosial dan sejarahnya. Rakyat diorganisasikan dalam berbagai cara sesuai dengan sosial budaya, kebutuhan, pengalaman dan tradisinya, dan sumber daya nasional diorganisasikan agar dapat mendukung kekuatan perlawanan. Bahkan wilayah dikompartemenisasikan agar perlawanan berkelanjutan sampai tujuan tercapai. Oleh karena itu wujud akhir dari pertahanan wilayah sering disebut perang rakyat total atau perang rakyat semesta.

9. Ciri-ciri Perang Rakyat

Persoalan di dalam sistem pertahanan yang melibatkan rakyat, bukan sejauh mana efektivitas dari perlawanan yang dilakukan atau perang rakyat itu sendiri, namun sejauh mana persiapan dan kesiapan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan ini benar-benar dapat menghasilkan efek penangkalan terhadap niat agresi negara lain dan pada saatnya dapat dimobilisasikan serta dimanfaatkan secara terpadu dan terarah. Oleh karena itu di dalam penyelenggaraannya, terdapat dua persoalan penting, yaitu : (1) bagaimana mengorganisasikan secara efektif kekuatan sosial atau potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan (perlawanan); dan (2) bagaimana mengerahkan dan menggunakan kekuatan tersebut untuk menghadapi kekuatan militer agresor yang superior.

Hal ini sulit untuk dapat dijawab langsung, kecuali memberikan suatu hipotesa yang diambil dari hasil penelitian berbagai pengalaman dan sejarah, yaitu : bahwa perang rakyat adalah suatu model pertahanan defensif yang dilakukan negara kecil terhadap agresi militer negara yang lebih kuat. Dari hipotesa ini diperoleh beberapa postulasi teoritis dan metodologis untuk menggambarkan suatu perang rakyat. Yang utama adalah bahwa kekuatan perlawanan dalam perang rakyat dilakukan oleh seluruh komponen rakyat tanpa kecuali (sesuai kemungkinan kemampuan yang dapat diberikan) sehingga merupakan kekuatan (dari sudut pandang agresor) yang tidak pernah melemah. (‘Patah tumbuh hilang berganti, esa hilang dua terbilang’ ). Pengerahan seluruh komponen kekuatan secara terarah dan terpadu hanya dapat dilakukan apabila terjalin keterkaitan yang erat di antara setiap komponen.

Dari berbagai pengalaman dalam perang kemerdekaan dan anti-kolonial yang lalu membuktikan bahwa tidak ada satu strategi pun (bagi pihak agresor) yang cukup efektif untuk menghadapi perlawanan dalam perang rakyat. Hal ini bisa terjadi karena di dalam perang rakyat tidak ada batasan dalam hal cara dan bentuk tindakan perlawanannya, terbuka berbagai kemungkinan untuk mengkombinasikan kekuatan dan sarana yang ada serta dalam memanfaatkan faktor lingkungan.

10. Analisa Ancaman

Pada masa lalu, terutama sebelum PD II, mekanisme pertahanan nasional disusun untuk menghadapi ancaman suatu perang konvensional sesuai dengan ciri-cirinya. Pada masa ini serba jelas untuk memilahkan antara keadaan perang dan damai, membedakan daerah tempur dan daerah belakang, dan pembinaan kekuatan pada masa damai dan mobilisasi umum pada masa perang. Pada era modern ini tidak demikian halnya, sulit untuk memisahkan antara keadaan damai dan keadaan perang, membatasi perang hanya di satu daerah tempur, membedakan antara peranan tentara regular dan peranan rakyat, dan menentukan waktu persiapan dan penggunaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan negara. Bahkan perang pun dilakukan tanpa pernyataan. Untuk semua ini maka faktor kesiapan kekuatan pada setiap saat dan pengorganisasian kewilayahannya termasuk dalam masa damai sangat diperlukan.
Persepsi ancaman disini dimaksudkan hanya untuk negara berkembang saja, bukan ancaman terhadap negara netral seperti Swedia atau Swiss. Meskipun kedua negara ini mempunyai konsepsi pertahanan yang sama dengan negara-negara berkembang, namun persepsi ancamannya berbeda. Terdapat berbagai bentuk penggunaan kekuatan dan dominasi dalam zaman modern ini. Dunia Barat membuat stratifikasi perang yang tentunya disusun berdasarkan pandangan negara maju. Bagi dunia negara-negara berkembang, agresi negara lain dapat timbul dalam berbagai bentuk, bukan agresi ] langsung dan nyata secara fisik saja, Agresi dalam bentuk yang lain yang sifatnya tidak langsung misalnya yang berkaitan dengan gerakan internal dan subversi.

Di dalam agresi tidak langsung, negara agresor menciptakan situasi yang tidak menentu dan membuat masyarakat di negara sasarannya kebingungan secara politik, ekonomi (provokasi), kehidupan sosial bahkan terhadap ideologinya. Bentuk agresi ini dapat dilakukan tanpa ada kontak geografis. Tujuannya adalah menimbulkan kekacauan sosial dan memutuskan hubungan (kepercayaan) diantara masyarakat sendiri dan antara masyarakat dengan pimpinan nasional atau pemerintahannya. Menghadapi ancaman semacam ini dapat diatasi apabila sebelumnya tercipta suatu kehidupan harmoni dan suasana kesatuan dan persatuan di negara yang bersangkutan, serta masyarakat memahami rumusan kebijaksanaan nasional dengan jelas dan tepat.

Agresi dalam bentuk gerakan internal diwujudkan melalui bantuan dan dukungan kepada sekelompok militan di negara sasaran yang kemudian diharapkan dapat menciptakan dan mengendalikan situasi agar terjadi kekacauan sosial, dan provokasi agar tidak percaya pada pemerintahan, sehingga pada saatnya dapat menggulingkan pemerintahan dan memegang kekuasaan. Sedangkan subversi merupakan penggandaan usaha yang dilakukan dalam agresi tidak langsung. Subversi merupakan metoda ‘serbuan’ yang dapat dilakukan dalam bentuk penggunaan kekuatan, ancaman, menciptakan suasana salah informasi, menyebarkan provokasi dan kegiatan sabotase. Untuk menghadapi ancaman dalam bentuk ini, maka jawabannya adalah kewaspadaan nasional secara berlanjut, menjamin semua kelembagaan pemerintah berjalan dengan baik dalam kondisi apapun dan dengan penuh disiplin dan tanggung jawab..

Apabila suasana kekacauan internal telah tercapai maka dilakuakn agresi total. Agresi total dapat terjadi sebagai kombinasi dari kedua bentuk ancaman diatas disertai dengan serbuan militer ke perbatasan negara. Ancaman semacam inilah yang paling membahayakan eksistensi suatu negara, sehingga menjadi persoalan utama bagi pertahananan negara. Untuk dapat menghadapi ancaman semacam ini berkaitan dengan penciptaan suatu kehidupan dan integritas nasional yang baik, termasuk menciptakan prakondisi kehidupan ekonomi yang memenuhi standar kehidupan dikalangan masyarakat; dan membangun suatu upaya pertahanan negara yang efektif dan tidak kenal menyerah dalam mempertahankan bangsa dan negara.

Sebagai suatu penerapan sistem pertahanan wilayah yang baik maka harus mengandung kewaspadaan dan kesiapan untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman sesuai yang dipersepsikan. Persepsi yang akurat tentang ancaman akan memungkinkan pembangunan kekuatan pertahanan dan sekaligus pembangunan nasional yang terarah.
Tanpa mengabaikan segi-segi positif perubahan dalam dunia internasional dan masyarakat global, segala bentuk ancaman terhadap integritas negara berkembang akan selalu kenyataan dalam dunia kontemporer ini. Ancaman ini timbul dari ciri-ciri dan berbagai kontradiksi yang menimbulkan ketidak pastian dalam dunia kontemporer serta peta kekuatan yang semula bernuansa politik dan militer menjadi politik dan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkat ke masalah budaya. Sejalan dengan trend perkembangan politik, ekonomi dan psikologis serta kekuatan militer di dunia maka semua ini akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan negara berkembang.
Kemungkinan untuk dapat menangkal setiap ancaman dalam berbagai bentuk itu, bagi negara berkembang hanyalah penerapan strategi pelibatan rakyat dalam pertahanan negara, yang merupakan strategi pertahanan yang dilakukan oleh negara itu dan diangkat dari tradisi, sejarah dan pengalaman bangsa di negara itu pula, dan sementara itu kehidupan nasional diupayakan dalam suasana harmoni.

11. Strategi Pertahanan Rakyat


Sejak awal dinyatakan sebagai suatu teori, strategi diklasifikasikan dengan acuan berbagai kriteria. Namun yang dominan sejak 3 abad terakhir ini, hanya ada dua strategi perang yang sangat popular yaitu strategi penghancuran (strategi langsung) dan strategi pengikisan (strategi tak langsung). Sesuai dengan namanya maka strategi penghancuran digunakan untuk menghancurkan kekuatan lawan secara langsung, sedangkan strategi pengikisan dilakukan guna mengikis lawan sehingga kekuatannya semakin berkurang. Strategi langsung diprakarsai oleh Clausewitz dan Jomini, sedangkan strategi tak langsung diprakarsai oleh Liddel Hart. Mungkin bagi pihak yang kuat akan melakukan strategi penghancuran atau strategi langsung, namun perang rakyat menggunakan kedua strategi ini, sehingga timbullah strategi kombinasi.

Mengapa dipilih strategi kombinasi ? Kedua strategi ini merupakan model yang optimal, rasional dan berlaku sesuai situasinya dalam perang apapun. Di dalam suatu pertahanan yang berupaya mengambil keuntungan dari pengerahan semua sumber daya nasionalnya lebih tepat bila berhadapan dengan parameter kekuatan milter konvensional. Meskipun sebagian besar wilayah sendiri misalnya telah dikuasai agresor yang memang lebih superior, namun negara ini bukan berarti kehilangan kemerdekaan atau kedaulatannya, kehilangan integritasnya dan kehilangan semangat perlawanannya.. Meskipun pukulan strategis pertama telah dilakukan. namun dalam perang ini menghindarkan suatu pertempuran yang menentukan khususnya bila perimbangan kekuatan dipandang tidak menguntungkan. Sehingga berdasarkan keyakinan akan kegunaan akan pengerahan semua sumber daya untuk dapat menghasilkan efek optimal terhadap cara dan tindakan perang, dengan memadukan tindakan perang secara frontal maupun partisan , dan dengan menerapkan semua model pengorganisasian perlawanan (sistem tentara) yang mungkin dilakukan, maka strategi kombinasi merupakan pilihan strategi bagi perang rakyat .

Di dalam Doktrin operasionalnya dilakukan dalam dua model strategi yaitu frontal dan partisan atau yang semacam itu. Biasanya perlawanan frontal dilakukan pada saat-saat awal datangnya agresi, dan umumnya juga pada saat akhir perang tersebut. Sedangkan sistem partisan dilakukan dalam situasi yang sulit, sehingga semua usaha harus dilakukan baik dalam hal cara maupun sarana yang digunakan. Oleh karena itu strategi perang wilayah atau perang rakyat pada dasarnya bagaimana cara perlawanan yang dipilih (konvensional atau partisan) dapat didukung oleh semua potensi dan kekuatan yang ada sehingga tujuan perang rakyat tercapai.

12. Tantangan Kesiapan

Berdasarkan berbagai pengalaman negara-negara yang menganut sistem ini pertimbangan umum dalam menerapkannya berorientasi kepada hal-hal sebagai berikut : bersifat defensif, moril rakyat harus tinggi, bersatu, disertai motivasi dan keyakinan terhadap perlawanan yang dilakukannya. Namun keberhasilannya akan berkurang apabila penyiapan rakyat dan pengorganisasian wilayah atau sumber daya yang lain diabaikan.

Kondisi demikian dapat diciptakan melalui persiapan panjang yang dilakukan sebelumnya. Kondisi nyata ini pada hakikatnya merupakan konsekuensi keberhasilan pembangunan di negara itu disemua bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan militer. Secara politik, bahwa semua kebijaksanaan pertahanan ini harus merupakan bagian dari pengambilan keputusan politik nasional, secara ekonomi dalam rangka pembiayaan yang diperlukan, dan secara sosial budaya harus menjadi bagian dalam pembinaan kesadaran bela negara antara lain pendidikan bela negara (‘patriotic education’) untuk seluruh rakyatnya.

Kesadaran bela negara merupakan suatu keharusan yang akan memberikan landasan nilai-nilai, kebanggaan dan kecintaan terhadap kebebasan dan integritas nasionalnya tanpa membedakan agama, keyakinan, ras, seks ataupun kedudukan sosialnya. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini bagi anak-anak dan remaja, dengan melatih dan mendidik mereka dalam hal mencintai tanah airnya (tidak terbatas dalam arti pembelaan negara saja) sampai tiba saatnya diperlukan untuk membela dan mempertahankan negaranya terhadap agresi dari luar.

Namun persiapan pertahanan ini tidak cukup hanya dengan pendidikan bela negara, terdapat sejumlah tantangan pembinaan persiapan dan kesiapan dalam mewujudkan pertahananan teritorial misalnya :

- Pengorganisasian negara dalam hal menghadapi agresi, pernyiapan rakyat, penyiapan parasarana dan sarana untuk mendukung pertahanan dan juga pertimbangan senjata yang digunakan.
- Penyiapan ekonomi dan pertanian (dukungan logistik) dalam hal menghadapi agresi, termasuk ketentuan hukum terhadap berbagai industri vital dalam masa darurat (perang).
- Pelatihan kader sesuai dengan sistem tentara yang berlaku.
- Pelatihan angkatan bersenjatanya atau tentara regulernya.
- Pembinaan ruang wilayah sebagai medan pertahanan termasuk jalan, sungai, laut dan danau, daerah pegunungan dan rawa-rawa, kota dan desa serta pemukimannya darimana dapat dilakukan posisi awal atau wilayah terkuat untuk melakukan perlawanan, atau dan dimana keselamatan dapat dijamin serta dapat mengadakan serangan balik.

Tidak mudah untuk memimpin dan mengendalikan pertahanan yang melibatkan rakyat, karena memerlukan pusat pengendalian dan pengomandoan yang jelas disertai kemauan politik untuk melaksanakannya. Untuk hal ini diperlukan pendekatan kewilayahan dan otonomi dalam tingkat tertentu termasuk telaahan perkemangan politik dalam dan luar negeri pada setiap saat. Kekeliruan perhitungan akan menyebabkan usaha yang sia-sia, secara ekonomi maupun kehidupan masyarakat.

13. Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara dari sekian banyak negara yang menganut sistem pertahanan dengan melibatkan komponen rakyat. Penyelenggaraannya dilakukan dalam suatu tatanan yang disebut sistem pertahanan keamanan ] rakyat semesta (Sishankamrata) yang bertitik tolak pada aspirasi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan dan ditata demikian rupa sehingga dianggap mampu menghadapi berbagai ancaman yang dapat menurunkan derajat keamanan nasional.

Adanya kata ‘semesta’ (atau ‘total’) dalam Sishankamrata, menunjukkan bahwa selain melibatkan rakyat bila perlu semua potensi non-manusia dan aspek-aspek kewilayahannya dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan pertahanan keamanan. Pertahanan seperti ini selalu merupakan suatu konsepsi kekuatan total, dan umumnya dilakukan oleh negara-negara ‘kecil’ dan atau ‘belum maju’. Banyak istilah yang digunakan seperti pertahanan rakyat, pertahanan wilayah atau teritorial, pertahanan rakyat semesta atau total, rakyat bersenjata, bangsa bersenjata dan dengan wujud perangnya yaitu perang rakyat, perang rakyat total atau perang rakyat semesta atau perang wilayah bahkan sering dikaitkan dengan perang gerilya.

Hal pokok di dalam konsepsi pertahanan rakyat seperti Hankamrata adalah tertanamnya landasan tekad dan semangat di kalangan rakyat untuk membela negaranya baik dengan melakukan perlawanan bersenjata maupun tidak bersenjata. Di dalam Doktrin Hankamneg RI (Kep/17/X/1991) dikatakan bahwa pada hakikatnya Sishankamrata adalah suatu wujud perlawanan yang dilandasi oleh sikap dan kesadaran akan tangung jawabnya terhadap bela negara, keyakinan pada kekuatan sendiri, keyakinan akan kemenangan dan tidak kenal menyerah. Dalam sistem pertahan ini sangat diperlukan jiwa dan semangat patriotik yang demikian dan pada dasarnya harus timbul dari kesadaran rakyat sendiri agar sistem pertahanan ini berjalan sesuai namanya.
Sistem pertahanan ini akan berjalan dengan baik apabila menjadi bagian yang tidak terpisahkan (inherent, melekat) dalam tatanan seluruh aspek dan strata kehidupan, serta menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan politik dan strategi nasional. Dalam rangka menuju ke pemecahan kedua masalah diatas maka sangat perlu untuk mempunyai suatu tingkat kognisi terhadap konsepsisi pertahanan yang melibatkan rakyat dalam pengertian universal. ]

14. Pola Pertahanan Rakyat di Masa Depan

Terdapat paling tidak tiga masalah pokok tentang pertahanan negara yaitu memilih pola pertahanan, perwujudan kemampuan dan kekuatan sesuai pola pertahanan yang telah dipilih, dan validitas pola ini dihadapkan kepada perkembangan ruang, waktu dan sarana (aspek makro) yang berlaku. Sehingga masalahnya secara umum adalah bagaimana suatu negara dapat mengakomodasikan ketiga masalah tersebut dalam menyelenggarakan pertahanannya.

Pola pertahanan yang dipilih pada dasarnya merupakan cara terbaik yang ada berdasarkan pertimbangan sejarah, budaya bangsa, sedangkan untuk mewujudkannya, pola apapun yang dipilih akan selalu berorientasi kepada unsur-unsur kekuatan yang sama yaitu :

1) Lingkungan geografis atau spasial (dalam kaitannya dengan aspek medan bagi kepentingan pertahanan);
2) Sumber daya manusia dan material (sumber daya nasional);
3) Kapasitas ] untuk mentransformasikan sumber daya nasional menjadi instrumen pertahanan termasuk kesiapannya.
4) Kapasitas untuk mengerahan instrumen ini secara terarah dan terpadu pada saat diperlukan.

15. Penutup

Dari uraian diatas secara umum dan universal motif untuk memilih pertahanan negara dengan melibatkan rakyat adalah sebagai berikut :
1. Pertahanan wilayah harus merupakan keinginan rakyat yang didasarkan kewaspadaan terhadap kepentingan nasional
2. Rakyat diorganisasikan demikian rupa sehingga akan menjadi suatu kekuatan perlawanan.
3. Pertahanan wilayah di setiap negara tidak akan sama tergantung kondisi negara-negara itu; demikian juga dengan organisasi dan struktur kekuatan akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan masing-masing.
4. Dalam tingkat tertentu pertahanan wilayah telah diterima oleh semua pihak termasuk negara maju.
5. Doktrin pertahanan wilayah berawal dari anti kolonialisme atau anti penjajahan.
6. Pertahanan wilayah dilakukan diwilayahnya sendiri, dengan mengkombinasikan berbagai bentuk perlawanan rakyat, dan harus didasarkan atas keinginan rakyat.

Untuk selanjutnya, dari unsur-unsur ini terlihat perlunya dukungan aspek-aspek ekonomi, psikologis/moril dan politik untuk mewujudkannya. Dukungan ini akan muncul dari telaahan perkembangan lingkungan (jangka panjang) dalam rangka mengantisipasi wujud ancaman dan kemampuan untuk mengatasinya sehingga dapat mengetahui risiko yang diperhitungkan.

Perkembangan lingkungan dewasa ini telah mempengaruhi pengertian tentang perang, maka sistem pertahanan wilayah perlu dikembangkan dalam rangka menjamin kepentingan nasional di negara yang bersangkutan.





Lemhannas, Mei 1999


Kepustakaan

1. Adam Roberts, NATIONS IN ARMS, Ghatto & Windus, London, 1976
2. Doktrin Hankamrata, 1982
3. Doktrin Pertahanan Keamanan RI, 1991
4. Doktrin Perjuangan TNI-ABRI ‘Catur Darma Eka Karma’, CADEK 1988
5. Davis B. Bobrow, COMPONENTS OF DEFENSE POLICY, Civil Defence, Rand Mc Nally & Company, 1965
6. Hary Bagyo, MBA, Brigjen (Purn), PERANG ABAD-21 dan SISHANKAMRATA, PT Gramedia Pustaka Umum, 1966
7. Naskah Hankamrata KRA XXV,
8. Perlindungan Rakyat
9. Sayidiman Suryohadiprojo, Letjen (Purn), SISHANKAMRATA DI MASA DEPAN, Naskah Seminar Pembangunan dan Pengembangan Hankam pada Pelita VII, TNI AU, 1966
10. Soedjono D. SH, PENEGAKKAN HUKUM DALAM SISTEIM PERTAHANAN SIPIL, Penerbit PT Karya Nusantara, Bandung, 1978
11. Sokolovsky, V.D., MILITARY STRATEGY, Preparing a Country to Repel Agression, F.A. Publisher New York, 1963.
12. ‘The Scientific Meeting on Security and Defence of the Non-Aligned Countries’, Yugoslavia 1988
13. Yahya A. Muhaimin, DR, POKOK-POKOK PIKIRAN PARTISIPASI WARGA NEGARA DALAM BELA NEGARA, Naskah Seminar Pembangunan dan Pengembangan Hankam pada Pelita VII, TNI AU, 1996

Sekitar Keamanan Nasional

Buku keamanan negara, keamanan nasional dan civil society karangan Hermawan Sulistiyo disusun dengan pendekatan norma-norma hukum termasuk perundang-undangan secara komprehensif. Untuk dijadikan landasan pemikiran maka buku ini cukup baik karena menyangkut berbagai perkembangan kehidupan politik dan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan kemanan nasional. Namun untuk pembahasan ontologi keamanan nasional, pendekatan hukum ini perlu diperluas dengan pendekatan moral atau dalam hal ini yang menyangkut keyakinan-keyakinan, kesepakatan-kesapakatan atau tradisi berbagai masalah yang menyangkut keamanan nasional. Mungkin bisa lebih dipragmatiskan dengan menggunakan istilah pendekatan doktriner, dengan catatan adanya limitasi penalarannya yaitu dalam batas-batas satu pangkal tolak pemikiran, logika dan metoda.

Dari Bab I timbul gagasan bahwa untuk bahasan pemetaan masalah atau latar belakang masalah, bisa dikatagorikan kedalam pemetaan masalah internasional dan atau global, pemetaan masalah nasional (aspek dan dimensi kehidupan nasional) dan pemetaan masalah perkembangan otonomial. Dalam hal ini Pemetaan masalah bisa diidentikkan dengan threat, vulerability and risk assesment dala profesi industial security.
Dewasa ini kekuatan Polri yang sejak tahun 1999 pisah dari ABRI menJadi semakin besar dalam pengertian kekuatan personil dan peralatannya, hal ini berarti bahwa perkembangan Polri cenderung bergerak kearah kekuatan tentara. Padahal untuk pertimbangan efisiensi, kebutuhan Polri akan kekuatan “pemukul” yang besar seperti ini tidak perlu oleh Polri sendiri, namun bisa diserahkan kepada TNI. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Polri menghadapi dua kecenderungan sekaligus: pertama, postur, instrumen dan kultur Polri dipandang belum memadai dan belum siap menjalani peran baru tersebut; kedua, pada sisi lain ruang kewenangan dalam status dan peran yang baru dianggap terlaulu luas sehingga timbul sebutan pejoratif seperti “Polri menjadi superbody”

Masalahnya mengapa “tidak perlu”? jawaban umum untuk pertanyaan seperti ini adalah menyangkut masalah pembinaan dalam rangka mengisi apa yang dikatakan postur, instrumen dan kultur Polri itu sendiri. Lingkup pembinaan kesatuan oleh Polri akan menjadi semakin luas, bukan saja dalam teknis kepolisian dalam arti sempit maupun dalam arti luas saja (dalam rangka menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kaitan penegakan hukum), namun juga akan mencakup pembinaan kesatuan dalam arti teknis dan taktis kemiliteran (mengalahkan musuh dalam rangka mencapai dan terlaksananya tugas pokok dalam kaitan penegak kedaulatan). Kedua profesionalisme ini berbeda. Paling tidak perbedaan ini menyangkut masalah budaya dan kode etik kedua bidang itu, yaitu antara pengayoman masyarakat dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan teknis militer yang berkaitan dengan kedaulatan. Dengan kata lain yaitu antara norma hukum dan norma moral; Polisi bertindak berdasarkan norma hukum (Peraturan Per-UU-an), bentara bertindak sesuai norma moral (doktrin)

Lain halnya apabila pengembangan kekuatan Polri tersebut ditujukan kepada kekuatan dan kemampuan murni dalam kaitan “kehadiran penegakan hukum” (law enforcement presence) disetiap trouble-spot keamanan dan ketertiban masyarakat apakah itu dalam bentuk crime-related Events, non-criminal events atau pun consequential events. Hal ini diartikan bahwa Polri diperlukan keberadaannya dan kehadirannya dalam urusan penegakkan hukum yang dilakukan dalam rangka pelayanan masyarakat untuk menimbulkan situasi dan kondisi rasa aman dan tenteram dari segala sesuatu yang membuat ketidak nyamanan dan ketidak amanan bagi masyarakat . Sedangkan tentara diperlukan kehadirannya didalam setiap trouble-spot politik terutama yang menyangkut terganggunya kepentingan-kepentingan nasional. Sedangkan keterlibatan tentara dalam masalah keamanan dalam negeri ataupun Kamtibmas adalah apabila trouble-spot kamtibmas tersebut sudah menyentuh kepentingan nasional dan untuk mengatasinya relatif diluar batas dan kapasiatas dan kapabilitas kepolisian.

Sehingga dalam hal ini bukanlah hal sebaliknya yang harus dikembangkan dalam Kamtibmas, yaitu dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas Polri untuk mampu kalau perlu sampai dengan tingkat kemampuan dan kekuatan mengatasi berbagai ancaman yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri. Atau sebaliknya tentara masuk kedalam wilayah keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga menyulitkan penanganan oleh Polri. Dalam era reformasi ini, kejadian seperti ini sudah jarang terjadi. Kalaupun terjadi maka hal itu bukan lah secara institusional namun peri laku perorangan atau oknum tentara. Semua ini adalah konsep yang tidak proporsional dalam kehidupan penegakan hukum dan kedaulatan dalam suatu negara. Proporsionalitas ini bukan rahasia lagi bila dikatakan sebagai masalah yang menyangkut apa yang dikatakan perebutan sumber daya bagi institusinya masing-masing. Hal seperti ini dalam buku tersebut dikatakan sebagai kompetisi atas anggaran negara dan status kewenangan institusional antara TNI dan Polri. Intinya jangan sampai terulang kembali landasan kebijakan politikal TNI pada masa Orde Baru, begitu juga dengan landasan kebijakan politikal Polri di masa Reformasi. Kedudukan Polri yang sekarang saja yaitu langsung berada dibawah Presiden masih debateable.

Pengertian Keamanan menurut Irjen Pol Farouk Muhammad (?!). Selama ini kita selalu mempersandingkan dua konsep : (1) pertahanan (defence/defense) dan (2) keamanan (security). “Pertahanan” adalah kata benda yang menggambarkan upaya atau proses, sedangkan “keamanan” adalah kata benda yang menggambarkan keadaan atau kondisi, dan merupakan hasil atau “out-come” (dari suatu proses). Istilah “pertahanan” biasanya dikaitkan dengan bidang politik dan pemerintahan (negara) sementara istilah “keamanan” mencakup bidang yang lebih luas, yaitu keamanan Negara dan keamanan kehidupan dalam negara, baik yang bersifat umum (publik) maupun individu.

Pengertian seperti ini belum bisa sepenuhnya diterima, karena masih ada kecenderungan untuk menempatkan keamanan diatas pertahanan, suatu pemahaman yang belum proporsional. Pada dasarnya pertahanan negara menganduk kesmaaan dengan keamanan negara dalam hal menjamin tetap tegaknya NKRI, yang mana dalam ini negara merupakan suatu super-organisasi. Yang membedakan antara pertahanan negara dan keamanan negara adalah kepentingannya. Pertahanan negara berkepentingan dengan musuh negara, segala bentuk ancaman yang ditujukan kepada kepentingan nasional dari negara itu. Sedangkan keamanan negara disini berkepentingan dengan segala bentuk ancaman yang ditujukan (langsung atau tidak langsung) kepada kondisi atau situasi tidak aman dan tidak tenteram. Kedua istilah ini belum menyangkut masalah eksistensi negara, namun baru pada tingkat menjaga, memelihara dan mempertahankan kepentingan nasional. Harus dibedakan antara ancaman terhadap negara dan ancaman terhadap masyarakat.

Upaya pertahanan akan menentukan kondisi keamanan (negara), tetapi keamanan tidak hanya bergantung kepada upaya pertahanan karena banyak faktor yang menentukannya. Jika dirumuskan secara teoritis, pertahanan (jika ditransformasikan kedalam item yang terukur) bukan satu-satunya “independent variable” yang menerangkan keamanan (depedent variable). Berkaiatan dengan topik yang kita bicarakan maka konsep “keamanan” mencakup keamanan negara dan keamanan umum.

Oleh karena diawali oleh pemahaman yang tidak tepat, maka dalam pembahasan selanjutnya menjadi mengada-ada. Dalam situasi dan kondisi tertentu bisa terjadi keterkaitan antara keamanan dan pertahanan (dan sebaliknya) namun keterkaitan tersebut tidak bisa dilakukan sebagaimana halnya pertanyaan “ayam dulu atau telur dulu”. Penggunaan istilah pertahanan dan keamanan semasa Orde Baru, hanya untuk menampung agar Polri bisa duduk dan termasuk didalamnya. Mengapa Polri harus duduk didalam tubuh pertahahan dan keamanan sehingga namanya berubah dari APRI atau TNI menjadi ABRI, maka hal ini adalah masalah politik Orde Baru “yang dipaksakan”. Adapun sekarang menjadi boomerang bagi kehidupan politik di Indonesia itu maka hal ini masuk ke dalam masalah kepentingan institusional, ekstrimnya termasuk dalam kepentingan kelompok tertentu. Hal-hal seperti inilah sebenarnya yang bisa menghambat perkembangan kehidupan nasional.

Keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi / kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama disebut rakyat (people) yang terikat dalam pesetambatanan politik, sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society / community) yang terikat dalam persetambatanan sosial.
Karena itu ancaman / gangguan terhadap keamanan negara belum tentu merupakan ancaman / gangguan terhadap keamanan individu / kelompok / masyarakat.
Pengertian diatas boleh diketengahkan dan bisa diterima, hanya penjelasan selanjutnya menjadi tendensius.

Uraian tersebut diatas hendak menunjukkan bahwa pemikiran untuk mengembangkan satu sistem yang mencakup kedua domain tersebut merupakan hal yang tidak tepat. Dewan Ketahanan Nasional misalnya, mengembangkan Konsep Sistem Keamanan Nasional yang mencakup ketentraman masyarakat, keselamatan dan perlindungan masyarakat, penegakan hukum dan pertahanan negara. Kedua domain tersebut bukan saja menyangkut dua kepentingan yang berbeda, tetapi jika diintegrasikan kedalam satu sistem akan membuka peluang penyalah-gunaan kekuasaan-paling tidak kooptasi-negara terhadap individu/kelompok orang yang hidup dalam negara. Ini tidak berarti bahwa negara boleh tidak memperdulikan kepentingan individu/kelompok terutama yang menjadi pilar (stake-holder)-nya, sebagaimana juga sebaliknya. Tetapi relasional tersebut bukan lagi dalam hubungan “topdown” dan “trickle down effects” seperti dalam paradigma lama kita tentang sebuah negara. Pendekatan atas nama “stabilitas keamanan” seperti yang diterapkan pada masa lalu justru semakin menjauhkan kita dari tujuan nasional “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Penanggapan terhadap usaha Dewan Keamanan Nasional diatas bersifat tendensius. Seperti dikatakan tadi diatas bahwa suatu saat keamanan akan menyangkut pertahanan, dan diasaat lain pertahanan akan menyangkut keamanan, semua tergantung situasi dan kondisinya. Dalam konteks keamanan nasional, kita harus memahami atau harus ada kesepahaman diantara kita bahwa dalam konteks pertahanan seperti apa atau terhadap ancaman bagaimana maka itu termasuk keamanan nasional, dan dalam konteks keamanan dan ketertiban umum yang bagaimana maka hal itu termasuk domain keamanan nasional.
Nampaknya, wacana untuk mengembangkan (baca : menghidupkankembali) Sistem Keamanan Nasional seperti yang disarankan DewanKetahanan Nasional lebih dilandasi oleh “teori” eskalasi ancaman, dimanagangguan terhadap keamanan dipandang berkembang secara eskalatif darigangguan kriminalitas mulai dari bentuk yang paling ringan/individual sampaiyang paling berat/massal, sehingga situasi keamanan dikelompokkan secarabertahap, mulai dari situasi aman, rawan, gawat dan krisis. Teori tersebutseolah-olah menghipotesiskan bahwa gangguan keamanan yang lebih besar(dependent variable) senantiasa diakibatkan oleh gangguan yang lebih kecil(independent variable). Permasalahannya tentu tidak sesederhana itu. Suatugangguan yang lebih besar bisa saja tiba-tiba terjadi karena dipicu oleh suatukasus kecil yang sepele.

Eskalasi seperti itu bisa ya dan bisa tidak, kesalahan Dewan Ketahanan Nasional untuk mengeskalasikan situasi keamanan seperti itu, adalah terbawa oleh kebiasaan di ABRI semasa Orde Baru: bahwa untuk segala sesuatu berusaha di alur-pikirkan dan dieskalasikan. Adapun yang besar berasal dari yang kecil atau yang kecil merupakan perubahan eskalasi dari besar bisa saja terjadi dan bisa juga tidak. Polri pada masa itu tidak pernah bersuara sama sekali, sekarang setelah “mendapat tempat” baru meributkan hal ini dengan berupaya mengemukakan pemahaman-pemahaman kontemporer namun kurang proporsional. Yang dimaksud pemahaman kontemporer disini yaitu pembenaran-pembenaran seperti halnya yang dilakukan oleh dan semasa Orde Baru, pembenaran sesuai zamannya dan dipaksakan. Yang disayangkan bukan karena takut kehilangan peran atau peranan, karena peranan Kamtibmas dari kepolisian tidak akan hilang selama dunia ini ada, namun takut kehilangan status atau kedudukan politiknya. Kiat-kiat kelompok kehidupan nasional seperti inilah bahkan yang bisa mempercepat kita kehilangan semuanya.

Keamanan Nasional dan Ancamannya

Untuk mengelola kehidupan nasional dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam konteks kondisi kependudukan, geografi maupun kekayaan alam yang ada didalamnya, dihubungkan dengan semua aspek kehidupan yang ada (idiologi-politik-ekonomi-sosial budaya dan pertahanan negara) cukup rumit. Penduduk yang jumlahnya sekitar tiga ratus juta, yang menempati wilayah hampir sepuluh juta km2 (daratan dan lautan sampai batas ZEE), dan dikaruniai sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, merupakan aspek-aspek alamiah sebagai sumber daya kehidupan yang memerlukan keterpaduan penanganan yang komprehensif bagi para pengelola negara. Kenyataan hasil yang dirasakan rakyat banyak dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, dari periode ke periode pemerintahan, sejak memperoleh kemerdekaan hanyalah berupa penantian.

Nampak jelas dihadapan kita, bahwa selama masa penantian ini berbagai masalah kehidupan telah menimbulkan rasa tidak aman dan tenteram disebagian besar rakyat dan masyarakat kita, antara lain rasa tenteram yang ditimbulkan oleh masalah pemenuhan kebutuhan pokok terutama bila sudah menyangkut masalah pendidikan anak-anak, menyusul rasa aman terhadap keadaan keamanan lingkungannya yang saat ini ancaman kekerasan atau tindakan kriminal bisa timbul dengan mudahnya kapanpun dan dimana saja, dan yang terakhir dipusingkan dengan kinerja pemerintahan sehingga menimbulkan dampak penantian seperti disebutkan diatas.
Begitu keadaan rakyatnya begitu juga kondisi pemerintahannya, berbagai risiko dan ancaman timbul yang pada hakekatnya adalah sebagai hasil dari jalannya roda pemerintahan itu sendiri sampai dengan sejauh ini. Hasil yang ditimbulkan dari kemampuan pengelolaan (manajemen nasional) semua aspek kehidupan yang ada dan hasil yang diperolehnya, akan menghasilkan skala risiko dan ancaman terhadap ketenteraman dan keamanan selaras dengan sejauh mana kemampuan pemerintahan negara mengelola negaranya, dan mengelola bangsa serta masyarakatnya.

Secara ekonomi (produksi-konsumsi-distribusi/pertukaran), begawan ekonomi kita Soemitro Djojohadikusumo pernah memberikan suatu model trigonalistik manusia-kebutuhan-teknologi. Dikatakan bahwa ancaman terhadap kehidupan nasional akan timbul apabila kita tidak mampu menjaga proporsionalitas dan keseimbangan ketiga unsur dari model tersebut. Dalam kehidupan keorganisasian, apakah itu organisasi sekecil tukang cukur sampai dengan super-organization seperti suatu negara, ada model trigonalistik sebagai suatu paradigma pengelolaannya, yaitu otonomi-kooperasi-kontrol. Banyak lagi model yang lain yang secara umum merupakan suatu konsep, dalam hal ini, hasil akhirnya (outcome) diharapkan dapat mencegah timbulnya kondisi lingkungan didalam atau diluar keorganisasian tersebut yang bisa menimbulkan suatu ancaman dan atau mengurangi risiko yang tidak bisa dihindarkan bagi keorganisasian itu.

Keadaan lingkungan bisa timbul secara alamiah (karunia Yang Maha Kuasa) atau rekayasa (politik-ekonomi-sosial budaya-pertahanan negara), oleh karena itu demikian juga ancaman dan risikonya. Hanya kemungkinan kondisi alamiah pada era ini, selain manusia belum mampu mengatasinya, atau bagi negara berkembang karena rendahnya kemampuan teknologi, juga diperbesar oleh polah manusia itu sendiri. Kira-kira duapuluh tahun yang lalu kita tidak mampu menyelamatkan penumpang kapal yang dilanda badai padahal terjadi didepan mata kita (KM Tampomas), dan sekarang terjadi lagi (KM Senopati) bahkan korbannya lebih banyak. Artinya bahwa kita baik itu teknologi kapalnya maupun teknologi penyelamatan disaat-saat kejadian tidak jauh berubah selama dua puluh tahun terakhir ini. Belum lagi teknologi untuk menghadapi bencana alam yang lain termasuk proses hilangnya pesawat Adam Air (bahkan radar dari Singapura yang menangkap sinyal karena radar yang ada sedang rusak). Dengan kata lain kinerja pembangun kita belum menghasilkan suatu tingkat teknologi yang mampu mengatasi atau mengurangi ancaman alamiah sepadan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi itu sendiri.

Belum lagi ancaman yang ditimbukan dari kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya, baik itu dalam kaitannya dengan dunia internasional maupun yang ada didalam negeri sendiri. Sedangkan ancaman militer dari negara lain, darimana asalnya istilah keamanan nasional digunakan, relatif sangat kecil, selama kita mampu berdiplomasi yang baik terutama dengan satu-satunya negara yang menjadi “polisi dunia”, Amerika Serikat.

Dari gambaran diatas nampak kepada kita bahwa ancaman yang menjadikan rasa tidak aman dan tidak tenteram secara nasional bisa timbul dari setiap aspek dan dimensi kehidupan bukan yang timbul dari aspek militer saja. Dan ancaman yang menyangkut masalah nasional pada dasarnya menyangkut masalah nilai-nilai kehidupan bangsa kita.

Didalam jargon keamanan nasional ada dua istilah yang perlu disepakati yaitu nilai-nilai dan kepentingan. Apabila Panglima TNI atau Kapolri berbicara keamanan nasional namun masih dalam lingkup pertahanan negara atau Kamtibmas, itu wajar namun masih dalam arti bahwa mereka sedang membicarakan kepentingan dalam aspek pertahanan negara dan atau Kamtibmas. Karena masalah itulah yang dibidangi TNI dan Polri, dan kepentingan dalam bidang masing-masing itulah yang menjadi sasaran program dan anggarannya dalam rangka menjamin terlaksananya tugas pokok TNI dan Polri. Demikian juga dengan departemen atau lembaga yang menangani aspek kehidupan lain, baik lembaga-lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Namun apabila kepentingan bidang-bidang tertentu tersebut, dampaknya terkait dengan masalah nasional dan bisa merubah nilai-nilai kultural yang ada, merubah keyakinan terhadap sesuatu keyakinan tertentu dan berguna bagi kehidupan bangsa kita, apakah itu menyangkut etika, estetika, doktrin atau apapun yang menjadi pembawaan atau harga diri bangsa kita, maka kepentingan yang ada pada aspek tersebut menjadi masalah nasional, masalah kita semua. Bukan lagi menjadi masalah instansi yang langsung terkait dengan masalah itu. Contoh yang jelas adalah ancaman Narkoba. Narkoba bukan hanya menjadi masalah Polri, selain Polri, semua instansi bahkan semua warga masyarakat wajib ber”hankamrata” untuk menangggulangi Narkoba dallam membantu Polri yang menjadi barisan depan dalam mengatasinya. Sudah jelas penggunaan Narkoba yang berlebihan dan selain dari untuk kegunaan pengobatan atau kegunaan lain secara terkendali, akan sangat merugikan dilihat dari aspek manapun. Menguntungkan hanya bagi mereka yang tidak memikirkan masalah nilai kehidupan bangsa dan masyarakatnya, dan justru pelaku hal seperti inilah yang menjadi sasaran utama peperangan ini. Oleh karena itu Narkoba merupakan ancaman terhadap keamanan nasional karena bisa merubah nilai-nilai kehidupan nasional.

Jadi kita bisa melihat bahwa pemahaman keamanan nasional sangat diperlukan oleh semua pihak. Ia bisa menyangkut keselamatan bangsa dan negara yang ditimbulkan oleh setiap aspek kehidupan, ia bisa menyangkut pertahanan negara karena ada ancaman militer negara lain, ia bisa dalam bentuk Kamibmas apabila kriminalitas atau premanisme sudah meraja lela dan meliwati batas rasa aman masyarakat, dan ia bisa menyangkut bencana ata malapetaka bila dampaknya bisa merubah nilai-nilai kehidupan yang ada.

Keamanan nasional (national security) adalah tanggung jawab bersama, dan hal ini bisa terjamin apabila secara hirarki kita masing-masing menyadari dan memahami art penting dari keamanan regional, provinsial atau keamanan sektoral, keamanan bagian-bagian, keamanan kantor, keamanan fasilitas, keamanan lingkungan, keamanan industrial dan seterusnya. Dalam skala nasional perbedaannya adalah apakah itu menyangkut nilai-nilai kehidupan nasional atau menyangkut kepentingan nasional, dan pembedaan ini sangat relatif.

Nilai keamanan nasional dapat ditingkatkan (nilai ketidak amanan nasional kecil) pada dasarnya tergantung dari kinerja nasional dan pada umumnya tidak timbul seketika bahkan intanjibel. Mengelola negara yang begitu besar dengan masyarakatnya yang ramah dan manut, bangsa besar dan heterogen namun saat ini menjadi negara yang cenderung mengarah ke underdog, tidak mudah bukan urusan seratus hari atau satu periode kepemimpinan. Keamanan nasional akan lebih sulit terjamin apabila mengabaikan tiga faktor penting, yaitu pertama, bila tidak tercapai keseragaman pangkal tolak pemikiran; kedua, bila tidak tercapai adanya kesamaan bahasa; dan ketiga, bila tidak adanya metoda dan logika yang baku dalam pelaksanaan pengelolaan negara. Dan sebagai bagian akhir, kita mengetahui semua bahwa lembaga yang jelas dan tegas membidangi pertahanan negara (dalam kaitan dengan keamanan nasional) adalah TNI dan Polri untuk keamanan dan ketertiban masyarakat; untuk masalah keselamatan bangsa dan negara misalnya siapa yang membidangi bila terjadi (dan sudah terjadi) ancaman serbuan produk luar yang bisa merubah nilai-nilai kehidupan, atau penetrasi budaya luar yang telah merambah moral dan mental bangsa kita, atau ancaman sebagai risiko dari konstelasi dan konfigurasi geografi negara kita yang potensial bencana alam, masih tidak jelas. Basarnas pada dasarnya hanya keorganisasian operasional yaitu bertindak apabila bencana atau malapetaka telah terjadi, tidak mempunyai organisasi kelembagaan yang memprediksi atau memprogramkan secara nasional kemungkinan-kemungkinan dan tindakan pencegahan atau peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya bencana serta sarana penanggulangannya. Demikian juga dengan departemen sosial, yang memfokuskan pada tindakan setelah terjadi selain membidangi masalah sosial yang lebih umum dan luas. Mungkin semua ini adalah pekerjaan rumah pemerintah negara kita, dan apakah rancangan undang-undang yang sedang dibahas sudah menyangkut semua ini.

Pengertian Doktrin




Dilihat dari sifatnya, doktrin merupakan pedoman tata laku yang bersifat mendasar dan umum untuk menghadap sesuatu masalah, sehingga di dalam penerapannya tergatung dari situasi yang berlaku pada saat itu. Dilihat dari segi proses terjadinya, doktrin berkembang melalui proses penalaran, oleh karena itu penerapnnya pun harus melaluiproses penalaran. Doktrin merupakan pengetahuan normatif (=norma moral) dari pada suatu pengetahuan positif. Oleh karena doktrin dapat dirumuskan sebagai berikut: "Pemikiran atau cara terbaik yang ada, mengenai suatu masalah dan menyatakan serta membimbing para penganutnya, untuk menghadapi masalah itu; yang mana diyakini kebenarannya oleh para penganutnya, diajarkan serta disebar luaskan namun pelaksanaannya harus didasarkan pada penalaran yang memadai kondisi yang berlaku pada saat itu".

Stratifikasi doktrin dalam penelitian gagasan (idea research) adalah sebagai berikut : FALSAFAH --> KONSEP --> ASAS-ASAS --> TEORI --> DOKTRIN --> KEBIJAKSANAAN --> STRATEGI --> OPERASIONAL/TEKNIS/TAKTIS