Monday, March 8, 2010

Sekitar Keamanan Nasional

Buku keamanan negara, keamanan nasional dan civil society karangan Hermawan Sulistiyo disusun dengan pendekatan norma-norma hukum termasuk perundang-undangan secara komprehensif. Untuk dijadikan landasan pemikiran maka buku ini cukup baik karena menyangkut berbagai perkembangan kehidupan politik dan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan kemanan nasional. Namun untuk pembahasan ontologi keamanan nasional, pendekatan hukum ini perlu diperluas dengan pendekatan moral atau dalam hal ini yang menyangkut keyakinan-keyakinan, kesepakatan-kesapakatan atau tradisi berbagai masalah yang menyangkut keamanan nasional. Mungkin bisa lebih dipragmatiskan dengan menggunakan istilah pendekatan doktriner, dengan catatan adanya limitasi penalarannya yaitu dalam batas-batas satu pangkal tolak pemikiran, logika dan metoda.

Dari Bab I timbul gagasan bahwa untuk bahasan pemetaan masalah atau latar belakang masalah, bisa dikatagorikan kedalam pemetaan masalah internasional dan atau global, pemetaan masalah nasional (aspek dan dimensi kehidupan nasional) dan pemetaan masalah perkembangan otonomial. Dalam hal ini Pemetaan masalah bisa diidentikkan dengan threat, vulerability and risk assesment dala profesi industial security.
Dewasa ini kekuatan Polri yang sejak tahun 1999 pisah dari ABRI menJadi semakin besar dalam pengertian kekuatan personil dan peralatannya, hal ini berarti bahwa perkembangan Polri cenderung bergerak kearah kekuatan tentara. Padahal untuk pertimbangan efisiensi, kebutuhan Polri akan kekuatan “pemukul” yang besar seperti ini tidak perlu oleh Polri sendiri, namun bisa diserahkan kepada TNI. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa Polri menghadapi dua kecenderungan sekaligus: pertama, postur, instrumen dan kultur Polri dipandang belum memadai dan belum siap menjalani peran baru tersebut; kedua, pada sisi lain ruang kewenangan dalam status dan peran yang baru dianggap terlaulu luas sehingga timbul sebutan pejoratif seperti “Polri menjadi superbody”

Masalahnya mengapa “tidak perlu”? jawaban umum untuk pertanyaan seperti ini adalah menyangkut masalah pembinaan dalam rangka mengisi apa yang dikatakan postur, instrumen dan kultur Polri itu sendiri. Lingkup pembinaan kesatuan oleh Polri akan menjadi semakin luas, bukan saja dalam teknis kepolisian dalam arti sempit maupun dalam arti luas saja (dalam rangka menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kaitan penegakan hukum), namun juga akan mencakup pembinaan kesatuan dalam arti teknis dan taktis kemiliteran (mengalahkan musuh dalam rangka mencapai dan terlaksananya tugas pokok dalam kaitan penegak kedaulatan). Kedua profesionalisme ini berbeda. Paling tidak perbedaan ini menyangkut masalah budaya dan kode etik kedua bidang itu, yaitu antara pengayoman masyarakat dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat, dengan teknis militer yang berkaitan dengan kedaulatan. Dengan kata lain yaitu antara norma hukum dan norma moral; Polisi bertindak berdasarkan norma hukum (Peraturan Per-UU-an), bentara bertindak sesuai norma moral (doktrin)

Lain halnya apabila pengembangan kekuatan Polri tersebut ditujukan kepada kekuatan dan kemampuan murni dalam kaitan “kehadiran penegakan hukum” (law enforcement presence) disetiap trouble-spot keamanan dan ketertiban masyarakat apakah itu dalam bentuk crime-related Events, non-criminal events atau pun consequential events. Hal ini diartikan bahwa Polri diperlukan keberadaannya dan kehadirannya dalam urusan penegakkan hukum yang dilakukan dalam rangka pelayanan masyarakat untuk menimbulkan situasi dan kondisi rasa aman dan tenteram dari segala sesuatu yang membuat ketidak nyamanan dan ketidak amanan bagi masyarakat . Sedangkan tentara diperlukan kehadirannya didalam setiap trouble-spot politik terutama yang menyangkut terganggunya kepentingan-kepentingan nasional. Sedangkan keterlibatan tentara dalam masalah keamanan dalam negeri ataupun Kamtibmas adalah apabila trouble-spot kamtibmas tersebut sudah menyentuh kepentingan nasional dan untuk mengatasinya relatif diluar batas dan kapasiatas dan kapabilitas kepolisian.

Sehingga dalam hal ini bukanlah hal sebaliknya yang harus dikembangkan dalam Kamtibmas, yaitu dengan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas Polri untuk mampu kalau perlu sampai dengan tingkat kemampuan dan kekuatan mengatasi berbagai ancaman yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri. Atau sebaliknya tentara masuk kedalam wilayah keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga menyulitkan penanganan oleh Polri. Dalam era reformasi ini, kejadian seperti ini sudah jarang terjadi. Kalaupun terjadi maka hal itu bukan lah secara institusional namun peri laku perorangan atau oknum tentara. Semua ini adalah konsep yang tidak proporsional dalam kehidupan penegakan hukum dan kedaulatan dalam suatu negara. Proporsionalitas ini bukan rahasia lagi bila dikatakan sebagai masalah yang menyangkut apa yang dikatakan perebutan sumber daya bagi institusinya masing-masing. Hal seperti ini dalam buku tersebut dikatakan sebagai kompetisi atas anggaran negara dan status kewenangan institusional antara TNI dan Polri. Intinya jangan sampai terulang kembali landasan kebijakan politikal TNI pada masa Orde Baru, begitu juga dengan landasan kebijakan politikal Polri di masa Reformasi. Kedudukan Polri yang sekarang saja yaitu langsung berada dibawah Presiden masih debateable.

Pengertian Keamanan menurut Irjen Pol Farouk Muhammad (?!). Selama ini kita selalu mempersandingkan dua konsep : (1) pertahanan (defence/defense) dan (2) keamanan (security). “Pertahanan” adalah kata benda yang menggambarkan upaya atau proses, sedangkan “keamanan” adalah kata benda yang menggambarkan keadaan atau kondisi, dan merupakan hasil atau “out-come” (dari suatu proses). Istilah “pertahanan” biasanya dikaitkan dengan bidang politik dan pemerintahan (negara) sementara istilah “keamanan” mencakup bidang yang lebih luas, yaitu keamanan Negara dan keamanan kehidupan dalam negara, baik yang bersifat umum (publik) maupun individu.

Pengertian seperti ini belum bisa sepenuhnya diterima, karena masih ada kecenderungan untuk menempatkan keamanan diatas pertahanan, suatu pemahaman yang belum proporsional. Pada dasarnya pertahanan negara menganduk kesmaaan dengan keamanan negara dalam hal menjamin tetap tegaknya NKRI, yang mana dalam ini negara merupakan suatu super-organisasi. Yang membedakan antara pertahanan negara dan keamanan negara adalah kepentingannya. Pertahanan negara berkepentingan dengan musuh negara, segala bentuk ancaman yang ditujukan kepada kepentingan nasional dari negara itu. Sedangkan keamanan negara disini berkepentingan dengan segala bentuk ancaman yang ditujukan (langsung atau tidak langsung) kepada kondisi atau situasi tidak aman dan tidak tenteram. Kedua istilah ini belum menyangkut masalah eksistensi negara, namun baru pada tingkat menjaga, memelihara dan mempertahankan kepentingan nasional. Harus dibedakan antara ancaman terhadap negara dan ancaman terhadap masyarakat.

Upaya pertahanan akan menentukan kondisi keamanan (negara), tetapi keamanan tidak hanya bergantung kepada upaya pertahanan karena banyak faktor yang menentukannya. Jika dirumuskan secara teoritis, pertahanan (jika ditransformasikan kedalam item yang terukur) bukan satu-satunya “independent variable” yang menerangkan keamanan (depedent variable). Berkaiatan dengan topik yang kita bicarakan maka konsep “keamanan” mencakup keamanan negara dan keamanan umum.

Oleh karena diawali oleh pemahaman yang tidak tepat, maka dalam pembahasan selanjutnya menjadi mengada-ada. Dalam situasi dan kondisi tertentu bisa terjadi keterkaitan antara keamanan dan pertahanan (dan sebaliknya) namun keterkaitan tersebut tidak bisa dilakukan sebagaimana halnya pertanyaan “ayam dulu atau telur dulu”. Penggunaan istilah pertahanan dan keamanan semasa Orde Baru, hanya untuk menampung agar Polri bisa duduk dan termasuk didalamnya. Mengapa Polri harus duduk didalam tubuh pertahahan dan keamanan sehingga namanya berubah dari APRI atau TNI menjadi ABRI, maka hal ini adalah masalah politik Orde Baru “yang dipaksakan”. Adapun sekarang menjadi boomerang bagi kehidupan politik di Indonesia itu maka hal ini masuk ke dalam masalah kepentingan institusional, ekstrimnya termasuk dalam kepentingan kelompok tertentu. Hal-hal seperti inilah sebenarnya yang bisa menghambat perkembangan kehidupan nasional.

Keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi / kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara. Kelompok orang dalam domain pertama disebut rakyat (people) yang terikat dalam pesetambatanan politik, sedangkan kelompok yang kedua disebut masyarakat (society / community) yang terikat dalam persetambatanan sosial.
Karena itu ancaman / gangguan terhadap keamanan negara belum tentu merupakan ancaman / gangguan terhadap keamanan individu / kelompok / masyarakat.
Pengertian diatas boleh diketengahkan dan bisa diterima, hanya penjelasan selanjutnya menjadi tendensius.

Uraian tersebut diatas hendak menunjukkan bahwa pemikiran untuk mengembangkan satu sistem yang mencakup kedua domain tersebut merupakan hal yang tidak tepat. Dewan Ketahanan Nasional misalnya, mengembangkan Konsep Sistem Keamanan Nasional yang mencakup ketentraman masyarakat, keselamatan dan perlindungan masyarakat, penegakan hukum dan pertahanan negara. Kedua domain tersebut bukan saja menyangkut dua kepentingan yang berbeda, tetapi jika diintegrasikan kedalam satu sistem akan membuka peluang penyalah-gunaan kekuasaan-paling tidak kooptasi-negara terhadap individu/kelompok orang yang hidup dalam negara. Ini tidak berarti bahwa negara boleh tidak memperdulikan kepentingan individu/kelompok terutama yang menjadi pilar (stake-holder)-nya, sebagaimana juga sebaliknya. Tetapi relasional tersebut bukan lagi dalam hubungan “topdown” dan “trickle down effects” seperti dalam paradigma lama kita tentang sebuah negara. Pendekatan atas nama “stabilitas keamanan” seperti yang diterapkan pada masa lalu justru semakin menjauhkan kita dari tujuan nasional “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Penanggapan terhadap usaha Dewan Keamanan Nasional diatas bersifat tendensius. Seperti dikatakan tadi diatas bahwa suatu saat keamanan akan menyangkut pertahanan, dan diasaat lain pertahanan akan menyangkut keamanan, semua tergantung situasi dan kondisinya. Dalam konteks keamanan nasional, kita harus memahami atau harus ada kesepahaman diantara kita bahwa dalam konteks pertahanan seperti apa atau terhadap ancaman bagaimana maka itu termasuk keamanan nasional, dan dalam konteks keamanan dan ketertiban umum yang bagaimana maka hal itu termasuk domain keamanan nasional.
Nampaknya, wacana untuk mengembangkan (baca : menghidupkankembali) Sistem Keamanan Nasional seperti yang disarankan DewanKetahanan Nasional lebih dilandasi oleh “teori” eskalasi ancaman, dimanagangguan terhadap keamanan dipandang berkembang secara eskalatif darigangguan kriminalitas mulai dari bentuk yang paling ringan/individual sampaiyang paling berat/massal, sehingga situasi keamanan dikelompokkan secarabertahap, mulai dari situasi aman, rawan, gawat dan krisis. Teori tersebutseolah-olah menghipotesiskan bahwa gangguan keamanan yang lebih besar(dependent variable) senantiasa diakibatkan oleh gangguan yang lebih kecil(independent variable). Permasalahannya tentu tidak sesederhana itu. Suatugangguan yang lebih besar bisa saja tiba-tiba terjadi karena dipicu oleh suatukasus kecil yang sepele.

Eskalasi seperti itu bisa ya dan bisa tidak, kesalahan Dewan Ketahanan Nasional untuk mengeskalasikan situasi keamanan seperti itu, adalah terbawa oleh kebiasaan di ABRI semasa Orde Baru: bahwa untuk segala sesuatu berusaha di alur-pikirkan dan dieskalasikan. Adapun yang besar berasal dari yang kecil atau yang kecil merupakan perubahan eskalasi dari besar bisa saja terjadi dan bisa juga tidak. Polri pada masa itu tidak pernah bersuara sama sekali, sekarang setelah “mendapat tempat” baru meributkan hal ini dengan berupaya mengemukakan pemahaman-pemahaman kontemporer namun kurang proporsional. Yang dimaksud pemahaman kontemporer disini yaitu pembenaran-pembenaran seperti halnya yang dilakukan oleh dan semasa Orde Baru, pembenaran sesuai zamannya dan dipaksakan. Yang disayangkan bukan karena takut kehilangan peran atau peranan, karena peranan Kamtibmas dari kepolisian tidak akan hilang selama dunia ini ada, namun takut kehilangan status atau kedudukan politiknya. Kiat-kiat kelompok kehidupan nasional seperti inilah bahkan yang bisa mempercepat kita kehilangan semuanya.

No comments:

Post a Comment